Sekolah Ramah Anak

Deskripsi Sekolah Ramah Anak
Dalam dunia pendidikan saat ini banyak kasus mencuat tentang wacana kurikulum yang memberatkan anak. Selain itu, berbagai kasus kekerasan pada anak di sekolah juga menjadi mimpi buruk bagi orang tua. Meskipun berbagai peraturan hukum dikeluarkan untuk melindungi anak, namun pada kenyataannya realisasinya sangat sulit dilaksanakan. Permasalahan pendidikan tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga berbagai negara. UNICEF telah merangkum berbagai kondisi yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Beberapa diantaranya yaitu bangunan yang tidak layak, air bersih yang langka, kekerasan di lingkungan sekolah dan sebagainya.
Berbagai permasalahan tersebut menjadi dasar dalam menciptakan Sekolah Ramah Anak. Sekolah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak terkait pendidikan tanpa merenggut hak-hak anak seperti bermain dan beristirahat. Sekolah Ramah Anak ini memiliki urgensi yang cukup tinggi mengingat berbagai kondisi yang dihadapi anak semakin memprihatinkan.
Menurut Hudiyono, Sekolah Ramah Anak sangat diperlukan mengingat masih adanya gap antara Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan lingkungan belajar. Gap tersebut berupa kreatifitas dan inisiatif peserta didik belum selaras dengan tuntutan belajar yang harus mengejar nilai tertentu. Alasan lainnya adalah Pemenuhan Hak Pendidikan Anak (PHPA) yang belum optimal karena proses pendidikan masih menjadikan anak sebagai obyek. Selain itu meningkatnya jumlah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia setiap tahun lebih memerlukan Sekolah Ramah Anak.
Landasan Hukum Sekolah Ramah Anak
Sejalan dengan konsep Sekolah Ramah Anak dalam perlindungan anak, UUD 1945 menegaskan dalam Pasal 1 dan Pasal 28 B. Pasal 1 merupakan dasar bahwa setiap warganegara, termasuk anak-anak berhak mendapat pendidikan. Sementara itu Pasal 28 B merupakan dasar anak berhak untuk melangsungkan hidup, tumbuh, dan berkembang serta terlindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Sekolah Ramah Anak pun dapat diterapkan dalam pembelajaran saat ini.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menjadi dasar dalam perlindungan anak dalam pendidikan. Pasal 9 dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual dan kekerasan. Kekerasan ini bisa dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan pihak lainnya. Hal ini sejalan dengan Pasal 54 yang juga mewajibkan lingkungan sekolah untuk menyediakan perlindungan bagi anak. Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya oleh pelaksana pendidikan.