Sumber gambar: https://hot.liputan6.com/
Dikutip dari Kamus Bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik batin, konflik kebudayaan, maupun konflik sosial. Konflik sosial banyak dibahas, bahkan sudah sangat lama menjadi perhatian para sosiolog. Salah satunya John Paul Lederach yang merupakan seorang sosiolog perdamaian. Analisisnya dipusatkan pada dinamika dan struktur hubungan sosial. Dalam Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture (1996: 9-10), Lederach menguraikan secara urut bagaimana suatu konflik terjadi dalam perspektif kontruksi sosial. Sebanyak 7 asumsi telah dituliskan Lederach sebagai berikut:
- Konflik sosial dipahami sebagai suatu hal yang alamiah dimana berbagai pengalaman umum hadir dalam setiap hubungan dan budaya.
- Pemahaman mengenai konflik berkaitan dengan kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya suatu kejadian yang dialami seseorang namun juga merupakan peserta aktif dalam menciptakan situasi dan interaksi dari pengalaman yang diambilnya sebagai konflik.
- Munculnya konflik merupakan hasil dari suatu proses interaktif yang berlandaskan pencarian dan penciptaan makna bersama.
- Proses interaktif diakarkan dan prosesnya ditanamkan melalui persepsi manusia, interpretasi, ekspresi, dan niatan-niatan dimana semuanya tumbuh dari kesadaran manusia itu sendiri (common sense).
- Munculnya pemaknaan bersumber dari sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sosial seperti situasi, kejadian, dan tindakan pengetahuan yang mereka kumpulkan.
- Suatu kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skema digunakan manusia atau sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespon kenyataan sosial di sekitar kehidupan mereka.
- Hubungan konflik sosial dan budaya dipahami tidak hanya sebagai satu pertanyaan sensitif dari kesadaran, tapi lebih jauh sebagai petualangan yang menghasilkan penemuan dan penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama sekelompok orang.
Lederach juga menyatakan bahwa pandangan konstruksionis mengusulkan bahwa manusia bertindak pada basis pemaknaan diri mereka. Pemaknaan diciptakan melalui pengetahuan bersama dan terakumulasi. Adanya konflik sosial dan politik pun didorong dari pemaknaan aktor-aktor di dalamnya yang terlibat dalam konflik. Berdasarkan hal ini, maka dalam menganalisis suatu konflik, bahasa serta struktur hubungan sosial menjadi sangat penting. Analisis inilah yang kemudian menciptakan segitiga negosiasi kepemimpinan yang banyak dipakai dalam menciptakan resolusi konflik damai (Lederach, 1996).
Sosiologi konflik menggunakan analisis interaksi simbolis untuk melihat berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan yang spesifik. Simbol dapat dimaknai secara berbeda-beda oleh aktor-aktor yang terlibat dalam interaksi sosial. Makna negatif suatu simbol dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebencian yang membentuk prasangka (prejudice) dan tindakan permusuhan (hostile action) seperti pada kampanye partai politik. Selain itu, kajian interaksionisme simbolis dalam interaksi sosial bisa dimanfaatkan untuk mengetahui berbagai fenomena konflik dalam masyarakat seperti segregasi sosial yang tinggi di Maluku dan Kalimantan. Juga digunakan untuk mengamati konflik-konflik dalam suatu organisasi.